Desa Penglipuran |
Langkahnya pelan. Pandangannya terarah pada beberapa lembar sampah plastik yang berserakan sisa makanan pengunjung yang belanja di warungnya.
Secepat kilat ia masukkan sampah-sampah itu ke dalam tong bertuliskan nonorganik.
Setelahnya, ia bersihkan meja bekas abu rokok yang tersisa. Warung milik Ni Nengah Kariyasa berada di Desa Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
Dari namanya, Anda pasti sudah tahu Desa Penglipuran. Ya, kesohoran Desa Penglipuran tak hanya sampai ke pelosok Nusantara, namun juga ke penjuru dunia.
Bahkan tahun lalu, Desa Penglipuran dinobatkan sebagai satu dari tiga desa terbersih di dunia. Betapa tidak, di Desa Penglipuran, Anda tak akan melihat sampah sedikit pun. Itu karena warga di sana sangat menjaga kebersihan lingkungan mereka.
Berangkat dari kesadaran sendiri, sampah-sampah itu dibersihkan sedemikian rupa. Mereka memilah dan memilih sampah organik dan nonorganik. Di desa ini sampah bisa menghasilkan rupiah.
“Iya, sampah-sampah ini kami pisah, yang plastik dan bukan plastik. Nanti kami jual di bank sampah yang dikelola oleh desa,” kata Kariyasa, Jumat, 3 November 2017.
Menurut dia, persoalan kebersihan lingkungan telah diajarkan secara turun temurun oleh para tetua desa. Orangtua Kariyasa pun menularkan hal yang sama kepada anak-anaknya.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh I Nengah Moneng, ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran. Menurutnya, meski bagi sebagian orang kebersihan lingkungan hal remeh, tidak bagi warga di Desa Penglipuran.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan akan dibahas secara serius pada rapat-rapat desa yang melibatkan warga.
Betapa tidak, bagi warga Desa Penglipuran, menjaga kebersihan adalah bagian dari penghayatan konsep ajaran Hindu, Tri Hita Karana. Konsep itu mengatur mengenai hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
“Katakanlah, hal sepele mungkin bagi sebagian orang, yaitu saluran got yang tersumbat. Kami di sini membicarakannya dengan serius untuk mencari jalan keluarnya,” kata Moneng.
Tak hanya itu, Moneng menyebut keselarasan hidup dengan alam sudah dipraktikkan oleh leluhurnya sejak zaman dahulu. Luas Desa Penglipuran yang mencapai 112 hektare (ha) hanya dipakai sekitar 9 ha saja untuk permukiman warga sebanyak 243 kepala keluarga atau 986 jiwa.
Sementara itu, seluas 45 ha dialokasikan untuk hutan bambu yang terletak di belakang desa. Sisanya, dialokasikan untuk fasilitas umum dan pertanian warga.
Dalam merawat lingkungan, Moneng menyebut warga Desa Penglipuran memiliki tata cara sendiri. Misalnya, menebang pohon bambu, warga tak bisa sembarangan menebangnya.
Ada aturan main yang harus dipatuhi, prioritasnya menebang pohon bambu yang sudah tua dan layak ditebang, sedangkan bambu muda sedapat mungkin dihindari untuk ditebang.
Saking pentingnya kebersihan lingkungan sekitar yang dipahami oleh warga Desa Penglipuran, hal itu kemudian dituangkan dalam awig-awig atau peraturan desa adat. “Dalam awig-awig itu diatur seluruh warga memiliki kewajiban menjaga kebersihan, keasrian, dan keindahan desa,” ujarnya.
Secepat kilat ia masukkan sampah-sampah itu ke dalam tong bertuliskan nonorganik.
Setelahnya, ia bersihkan meja bekas abu rokok yang tersisa. Warung milik Ni Nengah Kariyasa berada di Desa Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
Dari namanya, Anda pasti sudah tahu Desa Penglipuran. Ya, kesohoran Desa Penglipuran tak hanya sampai ke pelosok Nusantara, namun juga ke penjuru dunia.
Bahkan tahun lalu, Desa Penglipuran dinobatkan sebagai satu dari tiga desa terbersih di dunia. Betapa tidak, di Desa Penglipuran, Anda tak akan melihat sampah sedikit pun. Itu karena warga di sana sangat menjaga kebersihan lingkungan mereka.
Berangkat dari kesadaran sendiri, sampah-sampah itu dibersihkan sedemikian rupa. Mereka memilah dan memilih sampah organik dan nonorganik. Di desa ini sampah bisa menghasilkan rupiah.
“Iya, sampah-sampah ini kami pisah, yang plastik dan bukan plastik. Nanti kami jual di bank sampah yang dikelola oleh desa,” kata Kariyasa, Jumat, 3 November 2017.
Menurut dia, persoalan kebersihan lingkungan telah diajarkan secara turun temurun oleh para tetua desa. Orangtua Kariyasa pun menularkan hal yang sama kepada anak-anaknya.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh I Nengah Moneng, ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran. Menurutnya, meski bagi sebagian orang kebersihan lingkungan hal remeh, tidak bagi warga di Desa Penglipuran.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan akan dibahas secara serius pada rapat-rapat desa yang melibatkan warga.
Betapa tidak, bagi warga Desa Penglipuran, menjaga kebersihan adalah bagian dari penghayatan konsep ajaran Hindu, Tri Hita Karana. Konsep itu mengatur mengenai hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
“Katakanlah, hal sepele mungkin bagi sebagian orang, yaitu saluran got yang tersumbat. Kami di sini membicarakannya dengan serius untuk mencari jalan keluarnya,” kata Moneng.
Tak hanya itu, Moneng menyebut keselarasan hidup dengan alam sudah dipraktikkan oleh leluhurnya sejak zaman dahulu. Luas Desa Penglipuran yang mencapai 112 hektare (ha) hanya dipakai sekitar 9 ha saja untuk permukiman warga sebanyak 243 kepala keluarga atau 986 jiwa.
Sementara itu, seluas 45 ha dialokasikan untuk hutan bambu yang terletak di belakang desa. Sisanya, dialokasikan untuk fasilitas umum dan pertanian warga.
Dalam merawat lingkungan, Moneng menyebut warga Desa Penglipuran memiliki tata cara sendiri. Misalnya, menebang pohon bambu, warga tak bisa sembarangan menebangnya.
Ada aturan main yang harus dipatuhi, prioritasnya menebang pohon bambu yang sudah tua dan layak ditebang, sedangkan bambu muda sedapat mungkin dihindari untuk ditebang.
Saking pentingnya kebersihan lingkungan sekitar yang dipahami oleh warga Desa Penglipuran, hal itu kemudian dituangkan dalam awig-awig atau peraturan desa adat. “Dalam awig-awig itu diatur seluruh warga memiliki kewajiban menjaga kebersihan, keasrian, dan keindahan desa,” ujarnya.
Kesadaran tinggi warga sekitar akan kebersihan lingkungan membuat mereka tak mencantumkan sanksi dalam awig-awig tersebut. Bagi mereka, membiarkan sampah berserakan berarti melanggar petuah para leluhur. Tentu saja mereka tak mau dicap sebagai pendosa.
Bagi Anda yang berkunjung ke sini, tentu akan merasakan kesejukan udara yang begitu segar. Tak ada polusi, sebab kendaraan memang tak diperkenankan masuk ke areal desa. Saban hari, ratusan wisatawan dalam dan luar negeri berkunjung ke lokasi.
Bagi Anda yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam bagaimana warga Desa Penglipuran menjalankan kehidupan tiap harinya, Anda bisa menyewa homestay yang banyak tersedia di sini. Harganya cukup pas di kantong. Per malamnya berkisar Rp 500 ribu.
Untuk ke Desa Penglipuran, dari Kota Denpasar silakan ambil jalan menuju Kabupaten Gianyar. Selanjutnya, cari jalan menuju Kabupaten Bangli. Banyak petunjuk arah menuju Desa Penglipuran. Jika Anda tersesat, bertanya kepada warga sekitar tak ada salahnya. (viva)
Menyusuri Asrinya Desa Wisata Penglipuran yang Mendunia
4/
5
Oleh
MIR